Peristiwa Isra’ Mi’raj Perspektif Sains oleh Ahmad Rifa’I, S.Pd.Si., M.Pd.
(Guru IPA SMP Al Qolam Muhammadiyah Gemolong)
Peristiwa Isra’ Miraj adalah rangkaian dua peristiwa yang terjadi hanya dalam waktu sehari semalam. Secara nalar, peristiwa Isra’ dan Mi’raj bukanlah fenomena yang mengada-ada. Memang peristiwa perjalanan Rasulullah Saw dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa, kemudian dilanjutkan dari bumi menuju langit (Sidratul Muntaha) menjadi sulit dipahami dan dinalar oleh otak manusia.
Pada saat peristiwa ini disampaikan kepada orang-orang Mekkah, sebagian di antara mereka mengolok-oloknya bahkan ada yang kembali murtad, kecuali Abu Bakar yang menyatakan bahwa hal itu benar. Hal ini menunjukan betapa hebat keimanan seorang Abu Bakar sehingga dijuluki Al-shiddiq (yang senantiasa membenarkan). Peristiwa paling penting dalam sejarah ini pun diabadikan dalam QS. Al Isra ayat 1 dan QS. An Najm ayat 13-18.
Seorang pakar Fisika ITS sekaligus penulis buku “Ayat-Ayat Semesta”, Prof. Agus Puwanto, M.Sc. menyebut tidak sedikit para ilmuwan menggunakan pendekatan teori Relativitas Khusus Einstein. Ini berarti mengaitkan peristiwa tersebut dengan konsep dilatasi atau pemuluran waktu. Karena perjalanan Nabi bersama dengan malaikat Jibril, maka kecepatan kendaraan yang dipakai Nabi Saw setara kecepatan cahaya yaitu 300.000 km/detik. Seandainya Mi’raj terjadi dari pukul 20.00 hingga 04.00, berarti perjalanan dari bumi ke langit kemudian pulang dari langit ke bumi berdurasi 8 jam.
Ini mustahil, jika kecepatan Rasulullah Saw setara dengan kecepatan cahaya, maka beliau belum keluar dari sistem tata surya. Sebab jika dikalikan dengan kecepatan cahaya 300.000 km/detik, akan dihasilkan jarak tempuh sejauh 4.320.000.000 KM dari bumi. Berarti perjalanan ini baru mencapai planet Neptunus, planet terluar dari sistem tata surya. Artinya membutuhkan sekitar 4.4 tahun kecepatan cahaya hanya untuk sampai menuju Alfancentauri.
Karenanya, bagi Agus Purwanto penjelasan Mi’raj menggunakan teori Relativitas Khusus Einstein belum memadai untuk menjelaskan peristiwa ini. Belum lagi dengan fakta bahwa tidak ada materi yang bermassa yang bisa secepat cahaya. Cahaya dapat bergerak cepat karena pada dasarnya ia adalah gelombang elektromagnetik. Artinya, hanya malaikat dan ruh saja yang bisa memiliki kecepatan 300.000 km/detik.
“Karena ini bicara sains, akan terjadi pembengkakan massa yang besar sekali, dengan kata lain kalau Nabi Saw secepat kecepatan cahaya tubuhnya akan meledak. Karenanya, pendekatan relativitas khusus Einsten tidak relevan untuk menjelaskan peristiwa isra’ mi’raj.
Jika merujuk pada QS. Al Isra ayat 1 dan QS. An Najm ayat 13-18, kata Agus, terdapat tiga kunci yang ada pada peristiwa Isra’ Mi’raj yaitu: asra’, ‘abdi, dan layl. Asra’ adalah memperjalankan, memindahkan materi dari satu tempat ke tempat lain. Tempat menyatakan satu titik dalam ruang sehingga asra’ terkait dengan ruang beserta atributnya. ‘Abdi menunjuk pada hamba pilihan-Nya yakni Rasulullah yang meliputi jiwa, raga, jasmani dan ruhani. Layl mewakili waktu.
Dengan adanya petunjuk tersebut, menjelaskan jagad raya bersifat ruang-waktu-cahaya yang tidak lain adalah teori Relativitas Umum Einstein. Melalui teori ini, ruang dan waktu tidaklah ajeg, melainkan merupakan fenomena yang fleksibel, relatif, dan dinamis seperti proses alam semesta lainnya. Jadi, menurut Einstein jagat raya kita itu melengkung.
Selain jagat raya itu melengkung, alam semesta juga terus mengembang. Pendapat ini pertama kali diungkapkan oleh Edwin Hubble. Di masa lalu, alam semesta begitu kecil, padat, dan panas. Jika alam semesta diibaratkan balon, maka permukaan bola itulah ungkapan ruang lengkung dua dimensi. Artinya masih ada dimensi lain, yaitu alam immaterial yang keberadaannya di luar ruang dan waktu alam semesta.
Maka dari itu, tak heran jika perjalanan Mi’raj yang menembus beberapa lapis langit tersebut, bisa berlangsung dalam waktu yang relatif sangat singkat karena keberadaannya bukan lagi di alam semesta melainkan berada di ‘ruang ekstra’ alias alam immaterial. “Jadi perjalanan Rasulullah itu menembus dimensi yang lebih tinggi yaitu langit yang ghaib. Ini sudah berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan.
Sementara, Thomas Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Pusat Riset Antariksa, Organisasi Riset Penerbangan dan Antaraksa (ORPA), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan Isra Mi’raj merupakan perjalanan keluar dari dimensi ruang-waktu. “Saya memandang Isra Mi’raj perjalanan keluar dari dimensi ruang-waktu,” ujarnya dalam webinar di kanal Youtube Alhidayah Badan Geologi.
Maknanya, Nabi Muhammad keluar dari masa kini, masa lalu, dan masa depan yang mengikat makhluk. “Isra Mi’raj itu keluar dari itu,” ucap dia.
Thomas, yang kerap jadi pakar dalam pengamatan hilal penentu Bulan Ramadhan dan Lebaran di Kementerian Agama ini, memperkuatnya dengan pertemuan Nabi Muhammad dengan para nabi lain dalam perjalanan itu.
“Itu menembus ke masa lalu. Kemudian diperlihatkan juga surga dan neraka, itu masa depan, ketika kiamat sudah terjadi,” tuturnya.
Thomas mengatakan pada dasarnya manusia hidup dan dibatasi dimensi ruang-waktu. Ketika mengendarai Buroq, Rasulullah sedang keluar dari dimensi tersebut.
“Dan dengan Buroq itu Rasulullah Saw keluar dimensi waktu ruang. Pertemuan di langit itu menggambarkan Rasul tidak lagi terikat pada waktu,” kata Thomas.
“Jadi tidak perlu lagi bertanya, dan tidak relevan lagi bertanya di mana itu pertemuan di langit yang ketujuh. Sudah keluar dari dimensi ruang waktu,” imbuhnya.
Ia pun menyebut langit ke tujuh yang jadi lokasi Sidratul Muntaha tempat menerima perintah salat lima waktu merupakan “lambang batas yang tidak seorang manusia atau makhluk lain bisa mengetahui lebih jauh.”
Meski demikian, Thomas mengatakan Isra Mi’raj bukanlah perjalanan ruh atau bahkan mimpi Nabi Muhammad. Menurutnya, ini adalah perjalanan fisik langsung.
Buktinya, saat berada di Al-Aqsa Nabi menjalankan salat dan juga memilih meminum susu saat ditawari antara arak atau susu. Selain itu, ketika perjalanan pulang Nabi secara langsung melihat rombongan kafilah menuju Mekkah.
“Ini fisik. Salat itu fisik,” ucapnya.
Demikianlah penjelasan peristiwa isra’ mi’raj perspektif sains modern yang disampaikan oleh para ilmuwan. Penjelasan tersebut hanya sebuah pendekatan secara ilmiah. Sedangkan kita sebagai orang yang beriman ada tidaknya penjelasan menurut nalar ilmu pengetahuan harus tetap menyakini dengan sepenuhnya bahwa peristiwa isra’ mi’raj yang dijalani Rasulullah adalah benar. Semoga penjelasan-penjelasan tersebut bisa menambah iman kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Aaamiiin
Sumber :
Tinggalkan Komentar